Jumat, 18 Juni 2010

Agama (5)

MU’AMALAH

- Pengantar
- Definisi
Secara etimologis Mu’amalah berasal dari kata ‘amala - yu’amilu - mu’amalatan, dengan wazan fa’ala - yufa’ilu - mufa’alatan, yang artinya bermakna saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan. Secara terminologis, muamalah mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas mu’amalah berarti aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi/pergaulan sosial. Dan dalam arti sempit, mu’amalah berarti aturan Allah yang wajib ditaati, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Jadi mu’amalah adalah menyangkut af’al ( perbuatan ) seorang hamba. 3). Menurut pendapat lain, Mu’amalah adalah hubungan kerja antar manusia yang dibina atas perikatan-perikatan dan perjanjian-perjanjian yang saling merelai demi mencapai kemaslahatan bersama. 4)
Fiqh Mu’amalah adalah aturan-aturan hukum Allah dari dalil-dalil yang terperinci yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi / pergaulan sosial, dan cara manusia memperoleh dan mengembangkan harta benda (ghairu mahdhah). Dan ini bukan yang menyangkut tentang tatacara ibadah langsung kepada Allah (mahdhah).

- Pembagian dan Ruang lingkup fiqh mu’amalah
Ruang lingkup Fiqh mu’amalah adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti : wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah. Hukum-hukum fiqh mu’amalah adalah hukum-hukum yang meyangkut urusan mu’amalah dalam hubungan antara manusia dengan manusia lainya, lebih khusus tentang urusan kebendaan / harta.
Ruang lingkup Fiqh muamalah adalah aturan-aturan dan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan bidang muamalat. Mengenai ruang lingkup Fiqh Mu’amalah, terdapat macam-macam pendapat ulama. Menurut Rifa’i (1978 : 402-433) 5), ruang lingkup Fiqh Mu’amalah meliputi aturan-aturan/ketentuan-ketentuan, rukun, dan syarat mengenai :
1. Jual beli, adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu/akad.
2. Riba, adalah penukaran barang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara, atau terlambat menerimanya)
3. Hutang Piutang, adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian akan membayar dalan jumlah yang sama.
4. Hawalah, adalah akad mengalihkan tanggung jawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain.
5. Qiradl, adalah memberikan modal kepada orang lain untuk diperniagakan, dan keuntungannya dibagi menurut perjanjian waktu akad.
6. Syarikat, ialah perjanjia kerja sama dua orang atau lebih yang masing-masing memberikan sejumlah harta tertentu, guna memperoleh keuntungan.
7. Rahnu/gadai, adalah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan hutang, dan akan dijadikan pembayaran hutangnya jika hutang itu tidak dapat dibayar.
8. ‘Ariyah/pinjam-meminjam, adalah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan dalam kondisi yang sama / tidak rusak zatnya.
9. Sewa – menyewakan, artinya akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain denga jalan membayar sesuai dengan perjanjian dan syarat yang telah ditentukan.
10. Wadi’ah, adalah menitipkan barang kepada orang lain untuk dipelihara yang wajar.
11. Wakalah, adalah menyerahkan pada orang lain melakukan sesuatu pekerjaan yang boleh dikerjakannya, supaya dikerjakan semasa hidupnya.

- HUBUNGAN FIQH MU’AMALAH DENGAN FIQH LAINNYA
Dalam bagian ini akan penulis kemukakan mengenai hubungan antara fiqh mu’amalah dengan fiqh lainnya. Dalam paparan di depan telah dijelaskan tentang arti fiqh, yakni sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Dari definisi ini pun telah sangat jelas, bahwa Fiqh adalah induk dari sub bagian-sub bagian fiqh itu sendiri, yakni fiqh ibadah, fiqh mu’amalah, fiqh ekonomi (Iqtishady), dan lain – lain, semuanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan dan saling menunjang satu dengan lainnya, dan semuanya bermuara kepada satu hal, yakni mendapatkan ridho Allah Swt.
Dalam berjual-beli, misalnya, kita harus berpedoman pada fiqh yang mengatur jual beli, juga harus berdasarkan aqidah. Dalam jual beli jangan dilupakan, bahwa apa yang dilaksanakan adalah untuk ibadah, dalam jual beli jangan menggunakan politik kotor atau mengandung unsur penipuan, diperlukan transparansi, dalam jual beli menggunakan bahasa / tutur kata yang lembut dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Dengan demikian, selama beraktivitas harus menyesuaikan dengan aturan-aturan yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian insya Allah apa yang dilaksanakan akan mendapatkan hasil yang halaalan thayyiban, dan radhiyyatan mardhiyyatan.

HUBUNGAN MUAMALAH DENGAN H A R T A

- Definisi harta
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat melepaskan diri dari harta. Harta adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga karena begitu penting dan berharganya, manusia seringkali berlomba utuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Bahkan seringkali pula meghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah harta itu? Dan mengapa sampai manusia berlomba untuk mendapatka dan memilikinya?
Allah berfirman dalam Qur’an surat Al Hadiid ayat 7 , Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[1456]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh harta yang besar.
Para fuqaha mentakrifkan harta (mal) dengan : “Sesuatu yang manusia cenderung kepadanya dan mungkin disimpan di waktu diperlukan“.
Ada pula yang mentakrifkan sebagai :“Sesuatu yang tabiat cenderung kepadanya dan berlaku memberi dan menahan kepadanya”.
Golongan Hanafiah mengaitkan definisi mal ini dengan kemungkinan disimpan (iddikhar). Mereka berbuat demikian untuk mengeluarkan manfaat dari definisi mal. Manfaat menurut mereka adalah masuk golongan milik, dan tidak termasuk golongan mal. Dalam hal ini mereka membedakan antara mal dengan milik.
Milik adalah sesuatu yang dapat kita bertasharruf kepadanya.secara ikhtishash, tidak dicampuri orang lain. Karenanya manfaat masuk ke dalam bagian milik. Sedang mal adalah segala yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan di waktu diperlukan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Harta / mal adalah nama bagi yang selain manusia, yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dilakukan tasharruf dengan jalan ikhtiar.
2. Benda yang dijadikan harta itu dapat dijadikan harta oleh umum manusia atau oleh sebagian mereka.
3. Sesuatu yang tidak dipandang harta, tidak sah kita menjualnya.
4. Sesuatu yang dimubahkan walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji beras. Sebiji beras tidak dipandang sebagai harta walaupun ia boleh kita miliki.
5. Harta itu wajib mempunyai wujud. Karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta, karena tidak mempunyai wujud.
6. Benda yang dapat dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu,atau untuk waktu yang lama dan dipergunakan diwaktu dia dibutuhkan. 6)

- KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA
Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 14 : “ Dijadikan indah pada pandangan manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia”.
Pada diri manusia dijadikan Allah sifat menyenangi kehidupan dunia yang penuh dengan keindahan dan perhiasan. Yang diantara keindahan itu adalah harta, wanita, dan anak-anak. Realitas sifat manusiawi yang cinta pada harta sebenarnya juga terjadi dan melekat pada diri nabi-nabi pada umumnya. Kecintaan nabi pada isteri-isteri, pakaian, makanan, kuda, unta, dan lainnya yang tergolong paling bagus juga menunjukkan realitas sifat manusia yang netral ini. Kedudukan maal di sini adalah sebagai nikmat Allah bagi manusia, bila digunakan untuk kebaikan. Walaupun begitu manusia tidak boleh menyembah harta dan menjadikannya tujuan hidup di dunia dan lupa mengabdi kepada Allah. Maal/harta juga sebagai tiang kehidupan yang sangat di sukai manusia.
Harta merupakan sarana menguji keimanan seseorang. Apakah dengan atau tanpa harta seseorang akan terpengaruh atau tidak dalam mengabdi dan beribadah kepada Allah. Hal ini karena diantara tujuan hokum Islam adalah memelihara harta dan tidak boleh berbuat zalim terhadap orang lain serta wajib menggunakan harta itu dalam hal-hal yang diridhoi Allah Swt.
Tujuan pokok dari dianugerahkan-Nya harta itu adalah untuk memakmurkan bumi, yang diantaranya adalah dengan social responsibility yang nantinya akan bermuara kepada mencari atau mendapatkan ridho Allah. dalam pelaksanaan social responsibility atau tanggung jawab sosial tersebut Islam mengajarkan zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dan lain sebagainya, termasuk memelihara anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Dengan demikian manusia akan terhindar dari apa yang disebutkan Allah dalam surat Al Kafiruun 1-7, yakni, pendusta agama, yang diantara cirinya adalah menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, melalaikan shalat, berbuat ria, dan enggan menolong dengan barang berguna.

- PEMBAGIAN HARTA DALAM FIQH MUAMALAH
Dalam pengertian umum harta dibagi menjadi dua bagian, yaitu materi dan non materi. Yang termasuk materi diantaranya adalah uang, perhiasan, tanah, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk non materi adalah deposito, HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), saham, dan sebagainya. Harta menurut fiqh Islam terbagi dalam banyak bagian, yang ditinjau dari berbagai segi, yang masing-masing bagian itu mempunyai ciri-ciri dan hukum sendiri. Maka harta itu dapat kita bagi menjadi 10 bagian yang mendasar, yaitu:
1. Mal Mutaqawwim (benda bernilai) dan ghairu mutaqawwim (benda tak bernilai)
2. Mal Mitsli (benda bercontoh) dan qimy (benda tak bercontoh)
3. Mal Istihlaki (benda yang habis pakai) dan ghairu istihlaki (benda tak habis pakai)
4. Mal manqul (benda bergerak) dan ghairu manqul (benda tak bergerak)
5. Mal khass (milik pribadi) dan mal ‘amm (milik umum)
6. Mal ‘usul (pokok) dan mal simar (hasil)
7. Mal Mamluk (benda yang ada pemiliknya) dan mal mubah (benda tak bertuan).
8. Mal qabilul lil qismah (harta yang dapat dibagi) dan mal ghairu qabilil lil qismah (harta yang tidak dapat dibagi).
Menurut Hanafiyah, yang termasuk harta diam hanya tanah saja. Sedangkan Malikiyah menganggap harta diam meluas kepada segala yang melekat dengan tanah secara permanen, seperti tanaman dan bangunan. Sebab keduanya tak mungkin dipindahkan, kecuali harus dipindahkan bangunannya menjadi hancur, dan tanaman berubah menjadi kayu bakar. 7)
HAK MILIK

Hak milik atau kepemilikan dalam Islam, sebenarnya dari bahasa Arab, dari kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab, “milik” berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu individual maupun kelembagaan yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya.
Para Fuqaha membagi kepemilikan menjadi dua macam, yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan substansinya saja, nilai guna saja, atau kedua-duanya. Sebab-sebab timbulnya kepemilikan menurut syariah, salah satunya adalah karena akad.

- DEFINISI AKAD
Al-‘Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata ‘aqada–ya’qidu–‘aqdan, jamaknya adalah al-‘uqûd. Secara bahasa al-’aqd bermakna ar-rabth (ikatan), asy-syadd (pengokohan), at-taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, ‘aqada al-habla (mengikat tali), maksudnya adalah mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya. Al-‘aqdu juga bisa bermakna al-‘ahdu (janji) atau al-mîtsâq (perjanjian). Adapun al-’uqdah (jamaknya al-‘uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat.
Secara etimologis akad berarti :
1. Ikatan, yaitu : ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abastrak, dari satu atau dua sisi. Atau juga mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda ;
2. Sambungan, yaitu sambungan yang memegang kedua tepi itu dan mengikatnya ;
3. Janji, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Maidah : 1 : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu”
Sedangkan menurut terminologi, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya memmbutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, sewa-menyewa, perwakilan, dan gadai.
Pengertian akad secara khusus adalah perikatan (yang ditetap¬kan dengan) ijab dan qabul Contoh, ijab adalah pernyataan seorang penjual, "Saya telah menjual barang ini kepadamu" atau sejenisnya. Contoh qabul: "Saya beli barangmu" atau sejenisnya. Dengan demikian, ijab qabul adalah adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih. Berdasarkan pengertiaan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akad adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing
Dalam jual beli pun ada istilah aqad, yakni penjual menyampaikan ijab (penawaran) terhadap suatu barang dengan harga Rp. 100,00 dan pihak lain menyampaikan Qabul (menerima) atas penawaran barang dari penjual dengan harga Rp.100,00 pula. Setelah masing-masing pihak setuju, maka dilakukanlah proses serah terima / pertukaran barang yang diperjual belikan tersebut, di mana penjual menyerahkan barang kepada pembeli, dan pembeli membayar harga barang sebesar yang telah disepakati.
Setelah proses tersebut maka barang tersebut secara sah dan meyakinkan telah berpindah kepemilikan dari milik penjual menjadi milik pembeli. Hanya perlu diingat, bahwa sahnya akad tetap harus mengacu kepada ketentuan syariah, harus sah syarat dan rukunnya, dan akad dimaksud tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam agama.

- RUKUN DAN SYARAT AKAD
Mengenai rukun aqad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun aqad adalah ijab dan qabul. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa aqad memiliki tiga rukun, yaitu :
1. Aqid (orang yang beraqad) terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, dan kadang kala dari beberapa orang;
2. Ma’qud Alaih (sesuatu yang diaqadkan); ma’qud ‘alaih atau mahallul aqdi adalah benda yang menjadi objek aqad, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad ba’i (jual beli) yang dihibahkan dalam aqad hibah, yang digadai dalam akad rahn, dan lain-lain.
3. Shighat al-aqd, yaitu ijab dan qabul ucapan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak.
Ada beberapa syarat yang harus terdapat dalam akad, namun dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad. Kedua, syarat khusus, yaitu syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di samping syarat- syarat umum, seperti adanya saksi, untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya ta'liq dalam aqad muawadha dan aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah . Ini merupakan syarat-syarat idhafiyah.
Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad adalah:
1. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau ahli).
2. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukuman).
3. Al-Wilyatus syar'iyah fi maudhu'il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si 'aqid sendiri).
4. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah akad itu yang dilarang syara) seperti bai' munabadzah.
5. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah).
6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).
7. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Maka ijab menjadi batal apabila berpisah salah seorang dari yang lain dan belum terjadi qabul . 8)

- PEMBAGIAN AKAD
Dalam Fiqh Muamalah akad dibagi menjadi dua bagian yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad Tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru dilakukan dengan tujuan tolong menolong dala rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Akan tetapi pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksinya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut.contoh akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya. Sedangkan akad Tijarah adalah segala macam perjanjian yang nenyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation), sehingga tiap transaksinya bersifat komersial. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit”. Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.
Kaidah fiqh yang berkaitan antara akad tabarru dan tijarah adalah : Pertama, akad Tabarru’ tidak boleh dirobah menjadi akad tijarah, dan kedua, akad tijarah boleh dirobah menjadi akad tabarru”. Artinya setiap transaksi tabarru’ yang semula niatnya untuk urusan sosial / non komersial, akan tetapi kemudian dalam pelaksanaannya ternyata dirubah untuk mendapatkan keuntungan, itu dilarang. Akan tetapi transaksi yang niat semula untuk mendapatkan keuntungan, dalam pelaksanaannya boleh dirobah menjadi non komersial/tidak untuk mendapatkan keuntungan. Dan ini dengan alasan-alasan tertentu malah dianjurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar