Selasa, 31 Januari 2012

Memperhatikan. & merenungi

                                                          النظر والفكر                                                Memperhatikan & Berfikir النظر لغة الانتظار ، وتقليب الحدقة نحو المرئي ، والرحمة ، والتأمل. وفي الاصطلاح : الفكر المؤدي إلى علم أو ظن . قال إمام الحرمين في الشامل " : الفكر هو انتقال النفس من المعاني انتقالا بالقصد ، وذلك قد يكون بطلب علم أو ظن ، فيسمى نظرا . وقد لا يكون كأكثر حديث النفس ، فلا يسمى نظرا بل تخيلا وفكرا . والفكر أعم من النظر . فالحاصل أن قصد الناظر الانتقال من أجزاء الحد ، وقال في البرهان " : حقيقة النظر تردد في أنحاء الضروريات ومراتبها ، وقال فيما بعد : عندنا مباحثة في أنحاء الضروريات ومراتبها وأساليبها ، وقد اعترف فيما بعد أن الضروريات تنقسم إلى هاجم عليه ، ويسمى ضروريا . وإلى ما يحتاج إلى فكر ، فيسمى نظريا . قيل : وهذا نقض لقوله : إن كلها ضرورية . وأما حصر النظر في الضروريات فلا يستقيم ، فإنه قد يكون في غير الضروريات ضرورة ، ثم هو منقوض بالشك [ ص: 62 ] وقال القاضي أبو بكر : النظر هو الفكر الذي يطلب به من قام به علما أو ظنا ، وهو مطرد في القاطع والظني . واحترز بقوله : " به " من بقية الصفات ، فإنه لا يطلب بها بل عندها ، فيكون شرطا للطلب . كذا حكاه عنه الآمدي واستحسنه ، وأجاب عما اعترض به عليه ، ثم اختار خلافه ، وليس لشيء واحد حدان مختلفان . وقال الأستاذ أبو منصور : هو الفكر في الشيء المنظور فيه طلبا ، لمعرفة حقيقة ذاته أو صفة من صفاته ، وقد يفضي إلى الصواب إذا رتب على وجهه ، وقد يكون خطأ إذا خولف ترتيبه . وقال الغزالي في الاقتصاد " : إذا أردت إدراك العلم المطلوب فعليك وظيفتان : إحداهما ، إحضار الأصلين أي : المقدمتين في ذهنك . وهذا يسمى فكرا . والآخر يسوقك إلى التفطن . لوجهة لزوم المطلوب من ازدواج الأصلين ، وهذا يسمى طلبا . قال : فلذلك من جرد التفاته إلى الوظيفة الأولى جد النظر بأنه الفكر ، ومن جرد التفاته إلى الثانية قال : إنه طلب علم أو غلبة ظن . قال : ومن التفت إلى الأمرين جميعا قال : إنه الفكر الذي يطلب به من قام به علما أو غلبة ظن . قالوا : ولا يستعمل إلا فيما يمكن أن يحصل [ ص: 63 ] له صورة في القلب ، ولذلك ورد ( تفكروا في آلاء الله ولا تفكروا في الله ) . وقال بعض الأذكياء : الفكر مقلوب الفرك غير أن الفكر لا يستعمل إلا في المعاني . وقال القاضي أبو يعلى في كتابه المعتمد الكبير " : النظر والاستدلال معنى غير الفكر والروية ، بل يوجد عقبه . خلافا للمعتزلة في قولهم : إنهما بمعنى واحد ، ولنا أن الإنسان يفكر أولا في الجسم . هل هو قديم أو حادث ؟ وما دام مفكرا فهو شاك ، ثم ينظر بعد ذلك في الدليل ، وحينئذ يلزم أن يكون النظر والفكر متغايرين . قال الروياني في البحر " : والفرق بين الجدال والنظر وجهان : أحدهما : أن النظر : طلب الصواب ، والجدال : نصرة القول . والثاني : النظر : الفكر بالقلب والعقل ، والجدال : الاحتجاج باللسان  ، والله أعلم .  Kata " انظروا " diulang 3X artinya perhatikanlah (kalian) انظروا   ٣ مرات.  انظروا كيف كان عاقبة المكذبين  الأنعام: ١١                         انظروا ماذا في السموات والارض. يونس: ١٠١                         انظروا الى ثمره.  . الأنعام : ٩٩ Kata " فانظروا ) diulang 5X artinya maka perhatikanlah ( kalian) فانظروا. ٥مرات  فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين. ال عمران: ١٣٧، النحل: ٣٦                                               عاقبة المجرمين، النمل: ٦٩                                       بدا الخلق، العنكبوت: ٢٠                                       كان عاقبة الذين من قبل كان اكثرهم مشركين، الروم: ٤٢ لننظر        كيف تعملون.   يونس: ١٤ ولتنظر.      نفس ، الحشر: ١٨ Kata " تتفكرون " diulang 3X artinya kalian berfikir تتفكرون. ٣ مرات.  Kata " يتفكرون " diulang 10 X artinya mereka berfikir يتفكرون. ١٠ مرات Kata " تتفكروا" artinya berfikirlah (kalian) تتفكروا.  مرة يتفكروا . مرتين، الأعراف ١٨٤، الروم ٨ تفكروا في خلق الله/في آيات الله/ في آلاء الله ولا تتفكروا في الله 

Sabtu, 28 Januari 2012

Syukur

Syukur   Setiap detik berdetak, kita tiada pernah terlepas dari nikmat-Nya dan setiap helaan nafas, senantiasa ada nikmat yang tidak akan pernah kita mampu menghitungnya, meski pohon-pohon menjadi penanya dan air laut menjadi tintanya. Firman Allah : Nä39s?#uäur `ÏiB Èe@à2 $tB çnqßJçGø9r'y™ 4 bÎ)ur (#r‘‰ãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 žcÎ) z`»|¡SM}$# ×Pqè=sàs9 Ö‘$¤ÿŸ2 ÇÌÍÈ   "Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14] : 34) Demikianlah, Allah dengan segala kemahakuasaan-Nya, memberikan segala kebutuhan hamba-Nya. Meski seringkali, tidak sesuai dengan apa yang kita minta. Sehingga, dengan sedikit rasa kesal kita pun berusaha mengingkarinya. Realita ini, telah disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 112 : z>uŽŸÑur ª!$# WxsWtB Zptƒös% ôMtR$Ÿ2 ZpoYÏB#uä Zp¨ZͳyJôÜ•B $yg‹Ï?ù'tƒ $ygè%ø—Í‘ #Y‰xîu‘ `ÏiB Èe@ä. 5b%s3tB ôNtxÿx6sù ÉOãè÷Rr'Î/ «!$# $ygs%ºsŒr'sù ª!$# }¨$t6Ï9 Æíqàfø9$# Å$öqy‚ø9$#ur $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 šcqãèuZóÁtƒ ÇÊÊËÈ   "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. Realitanya, perumpamaan ini telah berulang kali terjadi, semenjak umat-umat yang hidup bersama nabi dan rasul terdahulu. Kemuliaan hidup dan kemegahan perabotan yang mereka miliki, tidak lantas menjadikan mereka bersyukur, akan tetapi justru membutakan mata hati yang berujung kepada sikap kufur sehingga mengakibatkan murka Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : ö/x.ur $uZõ3n=÷dr& Nßgn=ö6s% `ÏiB Abös% öNèd ß`|¡ômr& $ZW»rOr& $ZƒöäÍ‘ur ÇÐÍÈ   "Berapa banyak umat yang telah kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap di pandang mata". (QS. Maryam [19] : 74). Makna Syukur Kata “syukur” dalam berbagai bentuknya, disebutkan sebanyak 75 kali di dalam al-Qur’an. Kata syukur merupakan kata serapan dari bahasa Arab sebagai bentuk masdar “sukrun” (شُكْرٌ) dari kata kerja “syakarâ-yasykuru” ( شَكَرَ- يَشْكُرُ) yang berarti pujian atas kebaikan atau terpenuhinya sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syukur diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah, dan untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya). Sementara itu, dalam bahasa keseharian masyarakat awam, kita sering menggunakan kata syukur sebagai bentuk dari ekspresi kegembiraan atas pemberian ataupun anugerah yang diterima, baik yang diterima langsung dari Allah ataupun yang datang melalui perantara manusia, sehingga istilah itu kemudian berkembang dan identik dengan nama sebuah acara, seperti syukuran atau tasyakuran. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata syukur yaitu; pertama, pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh, yakni merasa ridha dan puas sekalipun hanya sedikit, di dalam hal ini para pakar bahasa menggunakan kata syukur untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput; kedua, kepenuhan dan kelebatan seperti pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat “syakarat asy-syajarah” (شكرة الشجرة) ; ketiga, sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit); keempat, pernikahan atau alat kelamin. Makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata “syukur” mengisyaratkan “siapa yang ridha dengan sesuatu yang sedikit, maka ia akan memperoleh sesuatu yang banyak, lebat dan subur”. Menurut al-Isfahani dalam bukunya Al-Mufradat fii Gharaib al-Qur’an menuliskan bahwa kata syukur mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Dalam konteks ini, syukur dimaknai sebagai hati yang terbuka karena menyadari nikmat Allah yang telah diterimanya. Sebaliknya mereka yang mengingkarinya dikatakan sebagai kufur (menutupi nikmat yang telah diterima) Cara bersyukur Ada banyak cara untuk mengekspresikan rasa syukur. Bahkan tidak jarang di suatu daerah tertentu telah menjadi sebuah budaya, tradisi ataupun ritual yang diwariskan secara turun-temurun. Meski, terkadang kita juga menyaksikan adanya sedikit penyimpangan ketika kita pandang dari sisi Syariah. Maka, sebagai seorang muslim, yang ditangannya ada al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak pantas kiranya, kita sekonyong-konyong menjustifikasi bahwa yang mereka lakukan adalah sesat, karena pada dasarnya tuduhan-tuduhan itu hanya akan menjauhkan jarak antara sesama muslim, menorehkan luka di hati, yang akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang tiada berkesudahan. Alangkah baiknya kalau kita memberikan alternative kegiatan yang lebih menonjolkan nuansa keislaman dan mengikis sedikit demi sedikit unsur-unsur yang kita nilai bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Diantara amaliah sebagai ungkapan ekspresi kesyukuran, dapat kita realisasikan dalam tiga bentuk, sebagai berikut : Pertama, bersyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa segala nikmat yang diperoleh adalah berasal dari Allah SWT dan tak ada seorangpun selain Allah SWT yang dapat memberikan nikmat itu. Sebab, hati adalah central dari semua sikap dan perilaku, dan syukur turut melekat dan tumbuh di dalamnya. Untuk mengetes apakah hati kita telah dipenuhi rasa syukur, maka perhatikan apa yang bergejolak dalam hati kita, ketika tetangga membeli mobil baru. Jika hati kita merasa nyaman, lapang, dan turut berbahagia, maka berarti kita telah bersyukur, akan tetapi kalau hati kita merasa tidak nyaman, dada terasa sempit, timbul iri, dan muncul buruk sangka kepadanya, maka berarti hati kita masih belum bersyukur. Kedua, bersyukur dengan lisan, yaitu mengucapkan secara jelas ungkapan rasa syukur itu dengan kalimat "al-hamdulillah" (segala puji bagi Allah), setiap kali kita menerima anugrah dan nikmat dari Allah. Dalam hal ini, perlu adanya pembiasaan terutama semenjak masa anak-anak. Karena syukur adalah merupakan sikap yang tidak dapat tumbuh begitu saja. Perlu proses pembelajaran yang lama dan lingkungan kondusif yang mendukungnya. Ketiga, bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu memberdayakan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan Syariat Islam. Dalam hal ini, banyak sekali aktivitas yang dapat kita lakukan. Bagi mereka yang diberikan kelebihan harta, maka sebagai bentuk kesyukurannya adalah dengan berinfak, bersedekah, berzakat kepada orang-orang fakir dan dhuafa yang membutuhkan, membangun tempat ibadah, dan menghidupkan lembaga-lembaga sosial; bagi mereka yang memiliki waktu senggang, maka, selazimnya memperbanyak membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, serta bersilaturahim; bagi mereka yang diberikan jabatan dan kekuasaan, maka selazimnya menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan rakyatnya. Bagi mereka yang diberikan keluasan ilmu dan pengetahuan, maka sebagai bentuk kesyukurannya adalah dengan cara mengamalkan ilmu yang mereka miliki, menjadi juru penerang yang bijaksana bagi diri sendiri dan orang lain. Demikianlah, syukur atas nikmat Allah adalah sebagai bentuk penghargaan kepada diri sendiri, karena meskipun kita mengingkarinya hal ini tidak mengurangi sedikitpun kemahabesaran Allah. Sebagaimana firman-Nya: `tBur öà6ô±tƒ $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o„ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ó‰‹ÏJym ÇÊËÈ   “…dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Luqman [31] : 12) Maka, dalam setiap tindakan yang kita lakukan mengandung konsekwensi yang harus kita terima dan pertanggungjawabkan. Ketika datangya sebuah nikmat menjadikan kita bersyukur, maka secara otomatis Allah akan menambakan nikmat-Nya. Akan tetapi, ketika nikmat yang telah diberikan justru menjadikan lupa diri dan melupakan Allah, maka sebagai konsekwensinya adalah dicabutnya nikmat tersebut oleh Allah (QS. Ibrahim [14] : 7). Wallahu a’lam bishshawab.

Sabar

Sabar   Sabar adalah pilar kebahagiaan dan sarana untuk menggapai kesuksesan. Dengan kesabaran itulah kita mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan; terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Allah berfirman : (#qãZŠÏètFó™$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45). Sabar adalah sebuah perilaku yang mudah diucapkan oleh lisan akan tetapi sulit dilaksanakan dalam kehidupan. Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh kebanyakan masyarakat mengenai kata sabar itu sendiri. Meski terkadang dalam hal-hal tertentu sabar seakan nampak batasnya, tetapi faktanya, ketika kita dihadapkan kepada suatu masalah yang menurut kita adalah berat, akan tetapi orang lain menghadapinya dengan santai dan mudah menyelesaikan permasalahan tersebut. Maka, ini berarti bahwa batas dari sabar adalah tergantung kepada subjek yang menjalankan kesabaran itu sendiri. Demikianlah, sabar merupakan sebuah “indikasi” keimanan, yang bermakna bahwa tanpa kesabaran, iman terhapus dari hati. Iman merupakan pembenaran terhadap dasar-dasar agama dan akan menumbuhkan amal saleh, maka iman memiliki dua unsur, yaitu yakin dan sabar. Yakin adalah pengetahuan yang pasti terhadap dasar-dasar agama yang berpangkal dari al-Qur’an, sedangkan sabar adalah realisasi dari keyakinan. Bila sesuatu maksiat diketahui kerugiannya sementara itu kepatuhan pada perintah Allah SWT diketahui manfaatnya, maka upaya untuk menjahui maksiat dan mengamalkan perintah itu dilaksanakan atas dasar kesabaran hati. Makna Sabar Sabar merupakan sebuah kata yang teradopsi dari bahasa Arab “shabara” (صبر), dan sudah menjadi kata yang baku dalam bahasa Indonesia, yang berarti menahan dan mencegah. Sedangkan menurut istilah, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Menurut al-Mubarak, sabar ialah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali kesabaran. Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan di hati. Maka, orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain karena ia senantiasa pasrah pada Allah dalam kondisi apa pun. Jika ditimpa musibah, dia tidak akan larut atau meratapi musibah yang menimpanya. Sedangkan jika diberi kesenangan atau kenikmatan, dia tidak akan lupa diri dan kufur nikmat kepada Allah. Sabar juga tidak identik dengan kepasrahan. Justru orang yang pasrah dalam satu sisi, mengindikasikan ketidaksabaran dalam berusaha, berjuang dan berdoa. Maka, sebagai seorang muslim yang dihadapannya ada al-Qur’an dan as-Sunnah, sabar harus senantiasa menyertai sepanjang mengarungi kehidupan dalam suka maupun duka sampai ruh berpisah dari jasad. Demikianlah anjuran Allah dalam firman-Nya : ÷ŽÉ9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# šcqããô‰tƒ Næh /u‘ Ío4ry‰tóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbr߉ƒÌãƒ ¼çmygô_ur ( Ÿwur ߉÷ès? x8$uZøŠtã öNåk÷]tã ߉ƒÌè? spoYƒÎ— Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# ( Ÿwur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tR̍ø.ÏŒ yìt7¨?$#ur çm1uqyd šc%x.ur ¼çnãøBr& $WÛãèù ÇËÑÈ   “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28). Sabar memiliki tiga unsur yaitu, ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud ilmu disini adalah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung kemaslahatan dalam agama dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Pengetahuan yang demikian seterusnya menjadi milik hati. Keadaan hati yang memiliki pengetahuan disebut hal. Kemudian hal tersebut terealisasikan dalam tingkah laku. Terwujudnya hal dalam tingkah laku inilah yang disebut dengan amal. Hubungan antara ketiga hal tersebut laksana sebatang pohon kayu. Ilmu adalah batangnya, hal sebagai cabangnya, dan amal menjadi buahnya. Dalam hal menjalani kesabaran, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; Pertama, orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya, karena ia mempunyai daya juang dan kesabaran tinggi; Kedua, orang yang kalah oleh hawa nafsunya, tetapi karena kesabarannya lemah, maka ia kalah; Ketiga, orang yang mempunyai daya tahan terhadap dorongan nafsu, tetapi suatu ketika ia kalah karena besarnya dorongan nafsu. Meskipun demikian, ia bangun lagi dan terus tetap bertahan dengan sabar atas dorongan nafsu tersebut. Macam-macam sabar Sabar adalah akhlak yang mulia. Akhlak yang menghiasi para nabi dan rasul serta orang-orang shalih dalam menunaikan tugas dakwah mereka. Tiada pahala yang lebih tinggi dari sabar kecuali kenikmatan surga yang telah menanti. Dalam kaitannya dengan sabar, secara umum para ulama membaginya menjadi tiga macam, sebagaimana yang dituliskan oleh Ibnul Qayyim dalamnya Madarijus Shalikin, yaitu sabar dalam menunaikan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menahan diri dari bermaksiat kepada Allah dan sabar dalam menghadapi ujian. Dari ketiga macam sabar tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama, sabar dalam menunaikan ketaatan kepada Allah. Sebagai seorang muslim, tentunya kita menyadari tugas pokok kita hidup di dunia, yakni menghambakan diri kepada Allah dengan tulus. Dalam melaksanakan tugas penghambaan ini, tentunya bukan berarti tanpa halangan dan rintangan. Disinilah sabar itu berperan sebagai benteng yang kokoh agar tugas penghambaan ini berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan koridor syari’at yang telah ditetapkan. Kedua, sabar dalam menahan diri dari maksiat kepada Allah. Yang dimaksud disini adalah kekuatan untuk mencegah diri terhadap melakukan segala perkara yang terlarang oleh Syari’at, tidak menjerumuskan diri melakukan hal-hal yang dilarang karena bisikan nafsu lawwamah (angkara murka). Karena sesungguhnya nafsu lawwamah adalah tipu daya setan, dan teman sejawat yang buruk akan senantiasa memerintahkan dan menyeret seseorang untuk berbuat kemaksiatan. Oleh karenanya, kekuatan kesabaran jenis ini mempengaruhi tindakan seorang hamba dalam meninggalkan segenap kemaksiatan.   Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Bagi orang muslim, musibah dapat dire ke dalam bentuk ujian sebagai konsekwensi dalam rangka peningkatan kualitas keimanan dan peringatan atas pelanggaran yang dilakukan. Sedangkan bagi orang-orang kafir musibah yang menimpa adalah merupakan azab sebagai balasan atas keingkaran dan keengganan mereka seruan yang disampaikan oleh para utusan Allah. Maka, dengan datangnya musibah yang menimpa diri seorang muslim, Allah telah membukakan pintu untuk merenungi berbagai faedah dan kenikmatan Allah yang diperolehnya dari musibah tersebut, sehingga dirinya pun berpindah dari derajat bersabar atas musibah yang menimpa menuju derajat bersyukur dan ridha atas musibah tersebut. Wallahu a’lam bishshawab.                        

Umat ini, umat yang satu

Umat ini, umat yang satu   Pada awalnya, manusia hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga. Tetapi setelah mereka berkembang biak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Maka, timbullah berbagai kepercayaan dan keyakinan yang menyebabkan perpecahan. Hal ini sebagaimana firman Allah : $tBur tb%x. â¨$¨Y9$# HwÎ) Zp¨Bé& Zoy‰Ïmºur (#qàÿn=tF÷z$$sù 4 “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih…,” (QS. Yunus [10] : 19) Maka dari itu, untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul, Allah mengutus rasul-Nya yang membawa wahyu dan untuk memberi petunjuk kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya : tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& Zoy‰Ïnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúï̍Ïe±u;ãB tûïÍ‘É‹YãBur tAt“Rr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4 “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan….,” (QS. Al-Baqarah [2] : 213) Diantara perselisihan yang muncul di permukaan bumi ini yang disebabkan perbedaan pandangan atau keyakinan umat, misalnya perselisihan antara Yahudi dan Nasrani mengenai Ibrahim, orang-orang Yahudi berasumsi bahwa Ibrahim adalah keturunan Yahudi, sedangkan orang-orang Nasrani beranggapan bahwa Ibrahim adalah seorang Nasrani. Maka, untuk menyelesaikan perselisihan tersebut kemudian Allah SWT menurunkan Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Ibrahim adalah seorang yang hanif (lurus, condong kepada kebenaran) lagi berserah diri kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. (QS. An-Nahl [16] : 120-122). Selain itu, perselisihan antar umat yang lain adalah perselisihan tentang Isa. Orang-orang Yahudi mendustakannya dan menuduh ibunya, Maryam, berbuat zina. Sedangkan al-orang Nasrani menjadikannya sebagai sesembahan dan anak Tuhan. Maka, kemudian Allah mengutus rasul-Nya, Muhammad, yang diwahyukan kepadanya Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan Isa dengan kalimat-Nya dan ditiupkan ruh dari-Nya, agar perselisihan tersebut berakhir. Akan tetapi, sampai hari ini, perselisihan itu terus-menerus terjadi sehingga menimbulkan konflik yang terus berkepanjangan. Masing-masing pihak terus saja bersikukuh bahwa diri mereka yang paling benar. Tidak ada yang mau mengalah meskipun dihadapan mereka telah ada bukti nyata dari Allah SWT. Oleh karena mereka telah termakan oleh bujuk rayu syetan yang hendak menyesatkan mereka. Sehingga laknat Allah telah menanti mereka. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an : $£Js9ur öNèduä!%y` Ò=»tGÏ. ô`ÏiB ωYÏã «!$# ×-Ïd‰|ÁãB $yJÏj9 öNßgyètB (#qçR%x.ur `ÏB ã@ö6s% šcqßsÏFøÿtGó¡tƒ ’n?tã tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. $£Jn=sù Nèduä!$y_ $¨B (#qèùttã (#rãxÿŸ2 ¾ÏmÎ/ 4 èpuZ÷èn=sù «!$# ’n?tã šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÑÒÈ   “Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 89) Makna Umat Kata ummat terambil dari bahasa Arab dari kata “amma-yaummu” yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin"; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat. Dalam buku Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, kata ummat dijelaskan bahwa kata ini didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Secara tegas Al-Quran dan hadits tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah : $tBur `ÏB 7p /!#yŠ ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmø‹ym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu…” (QS. Al-An'am [6]: 38). Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan).” (HR. Muslim). Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup manusia atau binatang seperti jenis, suku, bangsa, ideologi, atau agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu umat. Bahkan Nabi Ibrahim sendirian yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya, disebut oleh Al-Quran sebagai "umat" (QS Al-Nahl [16]: 120), dari sini beliau kemudian menjadi imam, yakni pemimpin yang diteladani. Kata ummat dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran yang hakekatnya bermakna himpunan. Al-Quran memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain "himpunan pengikut Nabi Muhammad SAW (umat Islam)", sebagai isyarat bahwa ummat dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya : ¨bÎ) ÿ¾ÍnÉ‹»yd öNä3çF¨Bé& Zp¨Bé& Zoy‰Ïmºur O$tRr&ur öNà6š/u‘ Âcr߉ç7ôã$$sù ÇÒËÈ   “Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya' [21]: 92). Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. Al-Quran surat Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan surat Al-Zukhruf (43): 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup. Umat ini berkelas karena takwanya Berbicara tentang manusia bahwa merupakan umat yang satu, tentunya memori kita akan langsung tertuju kepada petikan khutbah Rasulullah SAW ketika pelaksanaan haji wada sebagai berikut : “Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa..." Dari petikan khutbah diatas, ada sesuatu yang menarik untuk kita telisik bahwa manusia adalah berasal dari bapak yang sama, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Sehingga tidak berlakulah teori evolusi yang dikemukan oleh Darwin bahwa manusia adalah berasal dari kera. Memang, bila kita perhatikan dari sisi lahiriah sepintas lalu ada perbedaan baik dari segi ukuran tubuh, atau warna kulit akan tetapi perbedaan tersebut tidak lebih karena menyesuaikan dengan tempat dimana mereka berada. Karena ketika sudah terjadi proses pembauran mereka mampu beradaptasi dengan kondisi-kondisi yang lain. Maka dari itu, perbedaan warna kulit dan ukuran fisik seseorang tidak dapat mempengaruhi tingkat kemuliaannya. Justru yang dapat menjadi ukuran adalah tingkat ketakwaannya yang tercermin dari karakter dan tingkah lakunya. Seseorang dikatakan bagus secara fisik tetapi berperilaku menyimpang dari kaidah dan hukum syariat yang berlaku, maka secara otomatis akan menjatuhkan derajat kemanusiaannya. Allah SWT berfirman : ¨bÎ)ur ÿ¾ÍnÉ‹»yd óOä3çF¨Bé& Zp¨Bé& Zoy‰Ïnºur O$tRr&ur öNà6š/u‘ Èbqà)¨?$$sù ÇÎËÈ “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mukminun [23] : 52) Ayat di atas menyatakan bahwa pengikat kesatuan umat adalah takwa dan ibadah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa mewujudkan kesatuan umat adalah kewajiban seluruh kaum muslimin secara akidah maupun ibadah. Maka, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa umat ini adalah umat yang satu yaitu satu akidah dan satu syariah, yakni Islam yang telah disempurnakan oleh Allah. Wallahu a’lam bishshawab.

Toleransi

Toleransi Kehidupan umat manusia di muka bumi ini sepertinya tidak dapat terlepas dari sebuah sikap yang bernama toleransi. Ia telah menjadi sebuah budaya yang mengakar di tengah masyarakat, bukan hanya dalam masyarakat muslim akan tetapi juga tengah gencar disuarakan oleh masyarakat di luar Islam. Bahkan, akhir-akhir ini toleransi menjadi sebuah topic yang hangat dibicarakan di berbagai media massa ditengah maraknya issue social sebagai akar dari terjadinya konflik horizontal yang melibatkan berbagai lapisan dan elemen masyarakat, bukan hanya orang dewasa akan tetapi sudah menyentuh di level anak-anak dan remaja sehingga menyebabkan semakin buramnya potret toleransi di negri ini. Ironisnya, ada juga oknum penguasa atau penegak hukum yang turut serta memperkeruh suasana dengan cara mengambil keuntungan dari konflik yang tengah terjadi dengan berpihak kepada yang lebih banyak memberikan fulus dan keuntungan materi lainnya. Dan yang lebih aneh lagi, untuk sekedar merumuskan undang-undang tentang toleransi dan penanganan masalah konflik social ini, beramai-ramailah pejabat belajar dulu ke luar negeri. Padahal, di negeri ini toleransi telah menjadi sebuah budaya dan tradisi yang berkembang dari sejak nenek moyang kita jauh sebelum negeri ini berdiri mengingat negeri ini terdiri atas berbagai macam ras dan suku yang masing-masing memiliki keanekaraman budaya dan tradisi. Sebagai seorang muslim yang dihadapannya ada al-Qur’an dan as-Sunnah, kurang etis kiranya jika harus pergi jauh-jauh ke luar negeri bila hanya sekedar mencari bahan materi tentang toleransi dan pemecahan masalah konflik yang tengah marak terjadi. Bukankah Allah SWT dengan segala kemahakuasan-Nya telah menurunkan al-Qur’an sebagai pintu solusi? Ironisnya, sebagai seorang muslim kita sering dikotomi oleh budaya dan ajaran orang lain di luar Islam. Hegemoni barat sering kali menggiring opini kita kearah pemikiran yang bersifat liberal dan sekuler sehingga kita dengan bangga mengagung-agungkan budaya barat yang terkesan lebih manusiawi dan humanis, padahal bila kita cermati, itu semua hanya kamuflase yang dibuat-buat. Faktanya, sampai detik ini, kita sering mendengar berita tentang pelarangan pemakaian jilbab dan pembangunan menara masjid di berbagai Negara barat. Inikah yang disebut dengan toleransi? Berbicara masalah toleransi, berarti kita sedang berbicara tentang salah satu doktrin Islam yang menjadi sebuah ciri dan kharakteristiknya. Bila sejenak kita menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an mencari tentang toleransi, niscaya akan kita mendapati betapa al-Qur’an telah mengupasnya dengan sangat baik dan mudah dipahami. Kemudian apabila kita menyempatkan diri juga untuk membaca sirah nabawi, betapa beliau adalah seorang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya’ [21] : 107) dan faktanya telah tergambar dengan jelas bagaimana sikap Rasulullah SAW ketika memperlakukan penganut Yahudi dan Nasrani serta para kafir Dzimmi dengan penuh kasih sayang dan sangat manusiawi, tanpa memaksa sedikitpun mereka untuk memeluk agama Islam. Demikian halnya para sahabat dan para salafus shalih sesudahnya; sebagaimana Shalahuddin al-Ayyubi setelah menakhlukkan Baitul Maqdis di Palestina tidak dengan serta merta membinasakan penduduk penganut Nasrani dan Yahudi akan tetapi justru malah melindungi mereka dengan penuh kasih sayang. Makna Toleransi Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai as-samahah adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, organisasi masyarakat (ormas), lembaga social masyarakat (LSM), Yayasan, lembaga, forum, majelis, dan berbagai macam organisasi masyarakat lain yang bersifat massive atau yang berbasis massa. Islam dan Toleransi Toleransi dalam Islam adalah otentik dan telah menjadi jati diri. Al-Qur’an telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah bukan sikap Islam. Sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia sampai hari ini dan insya Allah sampai pada masa yang akan datang. Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Masalah toleransi adalah merupakan masalah yang begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Yang dimaksud dengan toleransi disini adalah dalam tataran interaksi social (hubungan antar sesama). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tidak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi dimana masing-masing pihak diharapkan mampu mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinannya maupun hak-haknya. Sebagai bukti bahwa Islam telah mengenal toleransi, dapat kita temukan dalam al-Qur’an, surat Al-Kafirun yang merupakan surat Makkiyah, meskipun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa turun pada periode Madinah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa, surat Al-Kafirun adalah surat baraa’ (penolakan) terhadap seluruh amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan memerintahkan agar kita ikhlas dalam setiap amal ibadah kita kepada Allah, tanpa ada sedikitpun campuran, baik dalam niat, tujuan maupun bentuk dan tata caranya. Karena setiap bentuk percampuran disini adalah sebuah kesyirikan, yang tertolak secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni. Meskipun pada dasarnya, kita diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam berbagai bidang kehidupan umum, sebagai contoh ketika kita memiliki orang tua yang memaksa kita untuk menyekutukan Allah, maka sebagai sikap toleran kepada orang tua, kita diajarkan untuk tidak menuruti ajakan tersebut dengan cara yang sopan dan tetap mempergauli keduanya dengan baik (QS. Luqman [31]: 15) atau kita diajarkan untuk tetap berlaku baik dan berbuat adil kepada setiap anak Adam apapun agama dan keyakinannya selama mereka tidak memerangi akidah dan hal-hal yang berkenaan dengan keyakinan kita (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8) Lebih lanjut disebutkan bahwa sebab turunnya (asbabun nuzul) surat Al-Kafirun adalah bahwa, setelah melakukan berbagai upaya untuk menghalang-halangi dakwah Islam, orang-orang kafir Quraisy akhirnya mengajak Rasulullah SAW berkompromi dengan mengajukan tawaran bahwa mereka bersedia menyembah Tuhan-nya Rasulullah SAW selama satu tahun jika Rasulullah SAW juga bersedia ikut menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun. Maka Allah sendiri yang langsung menjawab tawaran mereka itu dengan menurunkan surat ini (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas ra). Secara umum, surat al-Kafirun memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Adapun sikap toleransi begitu kental terasa dalam akhir ayat yang mungkin telah juga familiar di telinga kita ”Lakum diinukum waliya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) yang mengandung pengertian sebagai berikut : 1. Secara umum Islam memberikan pengakuan terhadap realita keberadaan agama-agama lain dan penganut-penganutnya;  2. Islam membenarkan kaum muslimin untuk berinteraksi dengan ummat-ummat non muslim itu dalam bidang-bidang kehidupan umum; 3. Islam memberikan ketegasan sikap ideologis berupa baraa’ atau penolakan total terhadap setiap bentuk kesyirikan akidah, ritual ibadah ataupun hukum, yang terdapat di dalam agama-agama lain; 4. Islam tidak membenarkan percampuran dengan agama-agama lain dalam bidang-bidang akidah, ritual ibadah dan hukum; 5. Kaum muslimin dilarang keras ikut-ikutan penganut agama lain dalam keyakinan akidah, ritual ibadah dan ketentuan hukum agama mereka; 6. Ummat Islam tidak dibenarkan melibatkan diri dan bekerja sama dengan penganut agama lain dalam bidang-bidang yang khusus terkait dengan keyakinan akidah, ritual ibadah dan hukum agama mereka. Demikianlah, toleransi telah menjadi salah satu doktrin Islam yang telah menjadi ciri khas dan kharakteristiknya sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak mengajarkan segala bentuk terror dan intimidasi kepada sesama muslim bahkan kepada orang-orang non muslim sekalipun selama mereka tidak memerangi, memusuhi atau mencampuri akidah kita. Hal ini telah menjadi sebuah tradisi yang berakar semenjak kemunculan Islam di muka bumi. Maka, tidak elok kiranya kita melupakan doktrin dan pengajaran yang baik ini atau bahkan justru berpaling kepada budaya barat yang belum tervalidasi oleh zaman. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa komitmen untuk menjiwai sikap toleransi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara sehingga seluruh elemen masyarakat merasa aman dan terlindungi di bawah naungan Islam yang mulia ini. Wallahu a’lam bishshawab.

Kezaliman adalah kebinasaan

Kezhaliman adalah kebinasaan dan kehancuran Dr. KH. Ali Akhmadi, MA, alhafizh   Sudah menjadi ketentuan Allah bahwa kezhaliman akan mengantarkan manusia kepada kebinasaan dan kehancuran. Telah banyak contoh dan permisalan yang dapat kita jadikan ibrah dan pelajaran akan akibat kezhaliman yang diperbuat manusia dengan tangan-tangan mereka. Buah dari kedhaliman mereka pun sering kali mengantarkan sang pelaku kepada kesempitan hidup bahkan kebinasaan yang mengakibatkan musnahnya sebuah peradaban. Kisah pembunuhan Habil oleh Qabil setidaknya dapat membuka mata kita akan perilaku zhalim yang dilakukan oleh anak Adam untuk pertama kalinya di muka bumi sebagaimana dapat kita baca dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] ayat 27-31. Tidak berhenti sampai disini, kisah demi kisah terus-menerus menandai perilaku menyimpang sebagai wujud kezhaliman yang dilakukan oleh anak cucu Adam yang telah dicetak dalam tinta sejarah kelam kehidupan umat manusia. Allah telah menceritakannya dalam berbagai ayat dan surat dalam al-Qur’an sebagai bukti kemahabesaran-Nya, diantaranya; Kaum nabi Nuh yang ditenggelamkan dengan air bah karena enggan menyembah Allah (QS. Al-A’raf [7] : 59-64);  Kaum ‘Ad yang dibinasakan dengan datangnya angin topan yang dahsyat yang disertai bunyi gemuruh karena enggan meninggalkan kebiasaan buruk nenek moyang mereka yang menyembah berhala (QS. A’raf [7] : 65-72); Kaum Tsamud dihancurkan dengan dentuman yang menggelegar karena dengan sengaja membunuh onta nabi Shalih (QS. A’raf [7] : 73-79); Kaum Sadum dilenyapkan dari muka bumi dengan hujan batu karena mengingkari fitrah biologisnya (QS. A’raf [7] : 80-84); Kaum Madyan dihancurkan dengan awan panas yang disertai petir sebab mereka gemar mengurangi timbangan dan takaran (QS. A’raf [7] : 85-93); demikian juga Qarun yang ditenggelamkan ke perut bumi karena enggan bersedekah dan menginfakkan hartanya di jalan Allah (QS. Al-Qasas [27] : 76-81); dan juga Firaun beserta balatentaranya yang ditenggelamkan di laut karena enggan menerima kebenaran yang dibawa oleh nabi Musa (QS. Yunus [10] : 75-92) Bahkan sampai detik ini, ketika kita berbicara masalah kezhaliman, tentunya pikiran kita akan langsung tertuju kepada habit (kebiasaan) yang akhir-akhir ini berjangkit dan mewabah di masyarakat kita. Tentunya hati kita miris menyaksikannya sebab pelakunya boleh jadi saudara-saudara kita atau bahkan diri kita sendiri. Marilah kita simak dan perhatikan perilaku yang saat ini terjadi di sekitar kita, seperti; penggelapan pajak, manipulasi anggaran negara, pengalihan kasus, monopoli perdagangan, jual beli undang-undang, penggelembungan suara hasil pemilu, penghalalan riba, pelegalan judi dan prostitusi, berkembangnya sikap hedonis, individulistis dan sikap kikir serta yang lebih parah lagi adalah munculnya perasaan bangga akan maksiyat yang telah dilakukan dan timbulnya rasa takut akan penerapan syariat Allah dan rasul-Nya.   Disadari atau tidak, inilah bentuk kezhaliman yang saat ini berkembang dan hampir-hampir menjadi budaya. Semua hal ini, ternyata tidak jauh berbeda dengan kezhaliman yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, akan tetapi yang berbeda hanyalah kemasan yang membungkusnya saja. Sehingga kita sering tertipu dan terbawa untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut ke tempat yang jauh sampai ke luar negeri yang menghabiskan dana dan energy. Padahal semua bila kita membuka al-Qur’an lantas mempelajarinya, maka akan kita dapati semua solusinya. Demikianlah dalam setiap periode kehidupan umat manusia, meski Allah telah mengutus seorang rasul atau nabi untuk memberikan peringatan kepada kaumnya akan tetapi diantara kaum tersebut tetap mendustakannya sehingga Allah menurunkan adzab-Nya dari tempat dan pada waktu yang tidak disangka-sangka (QS. A’raf [7] : 93). Bahkan, sampai detik ini, dapat kita saksikan bencana yang silih berganti melanda suatu masyarakat dan komunitas tentunya sebagai buah dari perilaku mereka yang menyimpang, sebagaimana firman Allah : tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# ’Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. “ω÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉ‹ã‹Ï9 uÙ÷èt/ “Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ   “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Ruum [30] : 41) Ayat tersebut menggambarkan potret kehidupan manusia yang gemar berbuat kerusakan di muka bumi. Padahal bila kita cermati, bahwa setiap jengkal ciptaan Allah yang berada di tanah, di udara dan di laut adalah merupakan anugrah Allah agar dimanfaatkan demi keberlangsungan hidup manusia. Akan tetapi sudah menjadi tabiat manusia untuk berbuat kerusakan di atas muka bumi ini sebagaimana disampaikan para malaikat kepada Allah sebelum penciptaan manusia (QS. Al-Baqarah [2] : 30). Meski kemudian tidak semua manusia gemar berbuat kerusakan dan senang menumpahkan darah ketika mereka mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para utusan Allah. Akan tetapi bagi mereka yang berpaling dari ketentuan Allah dan lebih senang mengikuti bujuk rayu syetan, maka mereka akan senang memperturutkan hawa nafsu sehingga kezhaliman pun terjadi dan effek dari kezhaliman pun tiada dapat tercegah. Maka dari itu, untuk mengantisipasi perbuatan ini agar tidak terus berkembang, Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya : Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4 “…maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu…,” (QS. At-Taubah [9] : 36) Dalam hal ini, Rasulullah SAW juga telah mewanti-wanti umatnya untuk berhati-hati dari perbuatan zhalim, sebagaimana sabdanya : اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَ أَهْلَكْ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحْلُوا مَحَارِمَهُمْ ”Berhati-hatilah kamu dengan perbuatan zalim karena sesungguhnya kezaliman itu adalah suatu kegelapan di hari kiamat dan berhati-hatilah kamu dengan perbuatan kikir karena kekikiran itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu sebelum kamu, sehingga mereka menumpahkan darah mereka dan merusak kehormatan mereka .” (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda : مَنْ ظَلَمَ قَيْدَ شِبْرٍ مِنَ الأَرْضِ طَوَّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa berbuat menyimpang sejengkal tanah, maka akan disempitkan dengan tujuh bumi di hari kiamat” (HR. Ibn Hibban)   Hakekat Zhalim Kata “zhalim” merupakan bahasa Arab yang telah umum digunakan dalam masyarakat kita yang bisa dimaknai “meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya” atau dalam kata asalnya yang lain bisa bermakna kejahatan, melampaui batas, atau menyimpang dari keseimbangan. Dari makna diatas, maka dapat kita gambarkan bahwa zhalim atau yang lebih lazim disebut sebagai kezhaliman merupakan bentuk kemungkaran karena telah berpaling dari ketentuan yang seharusnya berlaku dan dipatuhi oleh umat manusia. Dan dapat dimaknai bahwa pelaku zhalim adalah orang-orang yang tersesat dari jalan kebenaran sebab mereka mendapati diri mereka di dalam kegelapan tanpa cahaya yang menerangi. Dengan demikian perbuatan zhalim adalah merupakan suatu bentuk perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan bagi para pelukanya sebab akan semakin membutakan mata hatinya sehingga akan menjatuhkan nilai dan derajat kemanusiaannya. Disamping itu, effek dari perbuatan zhalim ini juga akan menimbulkan keresahan dan kesengsaraan masyarakat secara luas.   Menghindarkan diri dari berbuat zhalim Sebagai seorang muslim, tidak pantaslah kiranya untuk menzhalimi diri sendiri karena hal ini bertentangan dengan naluri dan fitrah sebagai seorang manusia yang suci, apalagi di hadapan kita ada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang akan mengarahkan hidup kita. Maka dari itu, selagi masih kita masih diberikan kesempatkan menikmati hidup di muka bumi ini sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang akan menyesatkan diri kita dan menyengsarakan orang lain, alangkah baiknya kalau kita melakukan hal-hal berikut ini : 1. Menghindari dari perbuatan yang mengarah kepada perbuatan yang menyekutukan Allah; 2. Meningkatkan ruhiyyah dan ketakwaan kepada Allah, dengan cara meningkatkan intesitas bangun bangun malam dengan bertahajjud, memperbanyak berdzikir, memperbanya tilawah al-Qur’an, mengerjakan shaum sunnah, seperti; puasa senin-kamis, puasa ayyamul baith (puasa tengah bulan); 3. Membudayakan sikap  tawadhu‘ (rendah hati) dan berusaha melepaskan diri dari sifat hasad dan hasud, iri dan dengki, bakhil dan pelit serta sifat-sifat tercela yang lain; 4. Berlaku adil kepada sesama, memberikan hak orang lain sesuai haknya, tidak mengurangi timbangan dan takaran dalam urusan bisnis dan perdagangan; 5. Membudayakan infak dan sedekah di pagi hari sebelum kita mulai beraktivitas. Akhirnya, marilah kita berupaya untuk meningkatkan produktivitas amal shalih selagi kita masih diberikan kesempatan menghirup udara segar di salah satu bulan haram ini. Semoga kita menjadi pribadi yang “shalih dan muslihun lighairihi” yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mampu beramal sesuai dengan tuntunan yang benar, serta mampu bermanfaat bagi orang lain. Amin Yaa Rabbal Alamin.    

Menandai Muharram

Buletin An-Nawa No. 1 Tanggal 10 Muharram 1432 H   Menandai Muharram   Bulan Muharram adalah bulan penuh sejarah, bulan dimana Rasulullah SAW mengawali langkah ekspansi dakwah, meninggalkan kampung halaman menuju kota Madinah Al-Munawwarah. Hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW adalah dalang rangka melakukan perbaikan manusia secara menyeluruh “min adh-dhulamâti ila an-nûr” (dari kegelapan menuju zaman yang terang benderang), memperbaiki akhlak, meluruskan Aqidah dan memahamkan umat bahwa kehidupan di dunia adalah sebagai mukadimah dari kehidupan akhirat. Peristiwa hijrah ini telah disepakati oleh umat Muhammad menjadi tonggak perhitungan waktu, yang jatuh pada bulan Muharram yang merupakan salah satu dari 4 bulan mulia sebagaimana difirmankan oleh Allah : ¨bÎ) no£‰Ïã Í‘qåk’¶9$# y‰ZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky ’Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ö‘r& ×Pããm 4 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...” (QS. At-Taubah [9]: 36) Berdasarkan keterangan firman Allah maka sebagai umat muslim kita sepantasnya untuk memperbanyak amal kebaikan dan memberantas semua perilaku menyimpang yang salah satunya merasa hidup tanpa kehadiran Tuhan atau menganggap bahwa Allah tidak memperhatikan setiap gerak-gerik hamba-Nya sehingga dengan mudahnya melegalkan praktek korupsi, kolusi, manipulasi dan monopoli. Demikianlah, apabila perilaku menyimpang ini terus membudaya tidak mustahil akan melahirkan raja-raja kecil yang gila hormat yang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kedudukannya sehingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan nasib rakyat dan masyarakatnya yang telah termakan oleh janji-janji manisnya. Maka dari itu, momen bulan Muharram ini bukan hanya diartikan sebagai berpindah tempat atau dimaknai dengan perayaan atau ritual semata akan tetapi harus dimaknai sebagai berpindahnya perilaku yang buruk menuju perilaku yang sesuai dengan kaidah Islam yang benar, yakni perilaku yang lebih humanism, menyadari bahwa apapun yang melekat dalam diri kita adalah amanat yang akan kita pertanggungjawabkan dan bersyukur atas semua pencapaian yang telah kita raih dengan cara berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung di tengah mesyarakat kita. Puasa di hari ‘Âsyûra Dalam bulan Muharram kita sering mendengar istilah ‘Âsyûra yang berarti hari kesepuluh di bulan Muharram. Dalam hal ini, Rasulullah SAW telah memerintahkan para pengikutnya untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Âsyûra dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Âsyûra merupakan hari dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, Bani Israil dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dan sudah menjadi kebiasaan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat tersebut. Maka, setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, ketika beliau menyaksikan bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Âsyûra. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Kemudian orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. (HR Bukhari) Rasulullah SAW berkata demikian sebab beliau dan para pengikutnya adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Hal ini bersandarkan kepada firman Allah : إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ “Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran [3]: 68) Demikianlah puasa di hari ‘Âsyûra telah menjadi sebuah sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dilaksanakan oleh para pengikutnya. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abi Qatadah bahwa ketika beliau SAW ditanya tentang hari ‘Âsyûra : عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُوْرَا فقال: يَكْفُرُ السُنَّةَ المَاضِيَةَ Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari ‘Âsyûra. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW telah berpuasa dihari ‘Âsyûra : عَنْ ابْنِ عَبَاس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ  قالأن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صَامَ يَوْمَ عَاشُوْرَا وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ Dari Ibnu Abbas ra, "bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Âsyûra dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi). Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda : لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلِ لأَصُو مِنَ التَّاسِعِ “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan”. (HR. Muslim)  Demianlah Rasulullah SAW berpuasa ‘Âsyûra dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Âsyûra, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh, atau ketiga-tiganya. Amal sosial bagi anak yatim Rasulullah SAW adalah seorang rasul yang terlahir sebagai yatim. Beliau telah mengalami pahit getirnya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Berjuang mempertahankan hidup di tengah-tengah kerasnya kehidupan. Maka dari itu, Allah menguatkan diri beliau agar senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah beliau terima. Salah satu dari bentuk kesyukuran beliau adalah dengan cara mengasihi anak-anak yatim dan menjanjikan tempat yang dekat di surga bagi orang-orang yang mengasuh anak-anak yatim seperti dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah, sebagaimana sabda beliau :   أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِسَبَابَتِهِ وَالوُسْطَى Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini. (HR. Bukhari) Momentum ‘Âsyûra adalah kesempatan yang sangat berharga bagi umat muslim untuk saling berbagi kepada kaum dhu’afa dan anak-anak yatim yang kekurangan. Minimal hari ini sebagai pemicu amal kebaikan di waktu-waktu mendatang. Sehingga jangan sampai kita melewatkan kesempatan yang berharga ini tanpa sebuah amal kebaikan yang nyata sebagai tanda bukti syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Hikmah Muharram Hidup adalah sebuah perjalanan singkat yang harus dilalui. Suka maupun duka adalah bumbu kehidupan yang akan selalu menyertai, kapan pun dan dimanapun. Tidak ada kehidupan yang berlalu tanpa ada masalah yang bergelayut. Marilah kita bertanya, apakah diri kita telah mampu menepis setiap problematika sehingga keluar sebagai pemenangnya atau justru malah terjerembab ke dalamnya sehingga tiada lagi mampu bangkit daripadanya. Masih ada waktu yang tersisa. Masih ada harapan-harapan lain yang belum kita kerjakan. Bila tahun lalu telah gagal, tidak salahnya kita kembali mencoba. Bila tahun kemarin telah hancur binasa tidak ada salahnya jika tahun ini, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah baru. Momentum Muharram inilah waktu untuk merefleksi diri, dan membangun prestasi. Adapun langkah-langkah yang dapat kita lakukan adalah sebagai berikut :   1- Memperhatikan diri pribadi agar selalu menjadi pribadi yang berkualitas “shalih” dalam pikirannya, pemahamannya, keyakinannya, ibadahnya dan akhlaknya. Mengaplikasikan makna hijrah bukan sebatas ritual atau perayaan semata akan tetapi lebih kepada perubahan cara berfikir yang positif, sikap dinamis dan perilaku innovative yang bersandarkan kepada tata cara ibadah yang benar berdasarkan tuntunan Allah dan rasul-Nya. 2. Selalu memperhatikan waktu, umur dan kesempatan. Semua perbuatan tidak dapat dipisahkan dari unsur waktu. Semua ibadah kita, baik yang mahdhah (wajib) ataupun yang sunnah dan lainnya harus menggiring waktu kepada terciptanya produktivitas amal dan pahala. 3. Senantiasa menyadari bahwa manusia sebagai makhluk “kolektif” Setiap kebersamaan harus dapat memberikan sumbangsih “nâfiun lighairihi” sebagai bukti bahwa diri sebaik-baiknya diri diantara makhluk Allah yang lain. Kolektivitas berarti bersatu untuk maju, bahu-membahu membangun peradaban Islam yang sistematis dan terpadu serta berupaya sekuat tenaga mengangkat derajat umat Muslim menjadi umat yang terdepan dalam kuantitas, kualitas dan mutu. Tidak menjadi pribadi yang “gedé ambeg”, “gampang mutung, dan mudah “futhur” atas semua keputusan koligial yang telah disepakati. 4. Amal sosial pada bulan Muharram adalah menyantuni anak yatim. Muharram hanyalah sebuah pemicu, dalam rangka meledakkan kebaikan dan amal sosial kepada sesama; menyantuni anak yatim, memberi makan orang-orang miskin, menyantuni kaum jompo yang tersia-siakan, dan mengembalikan arah yang telah terlanjur salah langkah. Untuk kemudian ditindak lanjuti dalam kehidupan mendatang. Bumi Allah luas, dimanapun dan kapanpun kita bisa menciptakan produktivitas yang akan membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebagai mukmin, kita harus bersungguh-sungguh mencari kerindhaan Allah, untuk mendapatkan kedudukan yang dekat kepada-Nya dan memperoleh kemuliaan disisi-Nya. Amin Yaa Rabbal alamin.      

Jumat, 06 Januari 2012

NIAT adalah pondasi dan penentu arah Kehidupan

NIAT sebagai pondasi dan penentu arah kehidupan   Niat adalah amaliah yang sangat penting dan menentukan di dalam kesuksesan sebuah aktivitas, baik yang berkenaan dengan aktivitas (mu'amalah) duniawi atau yang berhubungan dengan ibadah (ukhrawi) kepada Allah. Niat dapat membedakan satu kegiatan dari kegiatan lainnya, meninggikan suatu ibadah dari ibadah lainnya serta membedakannya dari kebiasaan. Niat juga dapat menentukan arah atau tujuan suatu kegiatan, ibadah dan kebiasaan, apakah arahnya benar atau salah. Allah berfirman : !$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# “Mereka tidak diperintah kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas bagi-Nya karena agama…” (QS. Al-Bayyinah [98] : 5) Niat adalah perbuatan hati dan dasar tegaknya setiap amal. Mustahil orang beramal tanpa niat. Bahkan Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pahala atas orang yang berniat dengan amal yang shalih sekalipun dia belum mengerjakannya. Rasulullah SAW bersabda : من هم بحسنة فلم يعمل بها كتبت حسنة.. "Barangsiapa berniat melakukan kebaikan, tapi belum jadi melaksanakan, maka baginya satu kebaikan...". Dan sabdanya: إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhari-Muslim) Itulah tinggi dan mulianya niat, tentunya hati kita akan merasa miris menyaksikan fenomena kehidupan sosial saat ini, di antara contohnya adalah kebiasaan (budaya), para pencari kerjaan atau pemangku jabatan, pada saat memulai jabatannya ia  "membaca niat berbuka puasa". Sehingga, diawal jabatannya, ia berfikir untuk mengembalikan modal yang telah ia habiskan untuk memperoleh jabatannya tersebut. Selanjutnya, sebagai ungkapan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu atau memberikan jabatan kepadanya, ia berusaha menyelamatkan posisi mereka atau mengalihkan proyek-proyek penting kepada mereka. Akhirnya, sepanjang ia berkuasa, tidak sedikitpun terfikir olehnya kemakmuran rakyat yang telah memilih dan memberikan amanah kepadanya. Ironis memang, tapi itulah realita kehidupan yang harus kita hadapi. Sebagai seorang muslim yang dihadapannya ada al-Qur’an dan as-Sunnah, apakah kita telah berniat secara sempurna “ lillahi ta’ala” karena Allah semata? Ataukah justru kita mencampur adukkan antara niat dengan nafsu sehingga arah kehidupan semakin kabur tanpa makna? Hakekat Niat Niat adalah sesuatu yang paling rahasia tempatnya ada di dalam hati, niat selalu berbarengan dengan permulaan suatu kegiatan, misalnya niat wudhu dilakukan dipermulaan wudhu, niat shalat dilakukan di permulaan shalat, nait mandi dilakukan di permulaan mandi dan sekaligus membedakan antara mandi biasa dengan mandi wajib. Secara syar’i niat adalah penyerahan atau menunjukkan kegiatan hanya kepada Allah SWT. Dari sini berarti ada orang yang tidak punya niat dan ada orang yang punya niat, dari yang mempunyai niat ada yang arahnya benar dan ada yang arahnya salah. Dalam kehidupan ini, manusia mempunyai banyak kegiatan, pekerjaan dan ibadah yang merupakan tugas utamanya kepada Allah, jika ia adalah orang beriman maka harus mempunyai niat bukan hanya sekedar punya tetapi harus benar. Niat yang menentukan arah Gambaran niat dan arah kehidupan dapat kita peroleh dalam surat Al-Fatihah yang berdiri diatas beberapa sendi, sebagai berikut : 1. Pengenalan kepada Allah SWT, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta dan penguasa hari pembalasan. Meskipun Allah memiliki kekuasaan secara mutlak terhadap semua makhluk-Nya akan tetapi Allah adalah dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang. Makanya segala puji hanya milik Allah SWT. ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ ß‰ôJysø9$# ¬! Å_Uu‘ šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ   Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ   Niat dan arah kehidupan harus dibangun diatas tauhid, iman dan akidah yang benar. Allah sebagai Rabbun (pencipta dan pengatur) dari sini sifat rububiyyah hanya milik Allah dan milkiyyah atau kepemilikan juga milik Allah. Dan Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan mulia seperti Ar-Rahman, Ar-Rahiim, maha pengasih dan penyayang tauhid asma dan sifat. 2. Pengakuan bahwasanya hanya kepada Allah semua orang beribadah dan hanya kepada-Nya semua permintaan ditujukan. x‚$ ƒÎ) ߉ç7÷ètR y‚$ ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ   Tauhid ubudiyyah dan uluhiyyah ibadah mencakup segala macam kegiatan baik perkataan maupun pekerjaan anggota tubuh lainnya yang diarahkan untuk mencari ridha Allah SWT. sebagaimana firman-Nya : ö@è% ¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur y“$u‹øtxCur †ÎA$yJtBur ¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ   “Katakan: sesungguhnya shalatku, aktivitasku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6] : 162). Maka dari itu, permintaan atau doa harus ditujukan hanya kepada Allah semata. Allah maha mengabulkan doa permintaan yang ditujukan kepada makhluk Allah baik benda mati, hidup, nyata, atau gaib dengan penuh pengetahuan dan kesadaran itu termasuk arah hidup yang salah karena semuanya adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Demikianlah janji Allah, bagi hamba-hamba-Nya yang meminta kecuali Dia-lah yang akan mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan hanya kepada-Nya : tA$s%ur ãNà6š/u‘ þ’ÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGó™r& ö/ä3s9 4 3. Penuh semangat untuk mencari jalan keridhaan Allah yang benar, shiraatal mustaqiim. xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgø‹n=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgø‹n=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ   Arah yang benar inilah arah yang di tempuh dan dijalani mereka yang diberi nikmat oleh Allah SWT dari para Nabi, syuhada (orang-orang yang mati di jalan Allah), shidiqqiin (orang-orang yang benar) dan shalihiin (orang-orang yang shalih). Dan dengan mereka kita diperintah agar mencontoh dan mengikutinya. Sebaliknya, kita dituntut untuk menghindari arah kehidupan yang menyimpang dari yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Selanjutnya, jika kita amati dalam realita kehidupan ini, maka kita akan mendapatkan kedua arah tersebut ada dan nampak bahkan aktif dalam membangun jaringan serta menjalankan program-programnya sehingga tidak sedikit orang yang terkecoh dengan fenomena. Sesuatu yang sebenarnya termasuk arah yang salah namun karena semangat untuk mendapatkan tempat dan peran di muka bumi maka segala macam cara ditempuh hingga bisa menyembunyikan aslinya dan tertariklah kebanyakan orang yang kurang mengetahui. Dalam hubungan ini maka dalam menentukan arah kehidupan banyak syira’ (pertarungan) dan tarik ulur, disinilah pentingnya membangun niat dan arah kehidupan yang benar. Wallahu a’lam bishshawab.