Sabtu, 28 Januari 2012

Toleransi

Toleransi Kehidupan umat manusia di muka bumi ini sepertinya tidak dapat terlepas dari sebuah sikap yang bernama toleransi. Ia telah menjadi sebuah budaya yang mengakar di tengah masyarakat, bukan hanya dalam masyarakat muslim akan tetapi juga tengah gencar disuarakan oleh masyarakat di luar Islam. Bahkan, akhir-akhir ini toleransi menjadi sebuah topic yang hangat dibicarakan di berbagai media massa ditengah maraknya issue social sebagai akar dari terjadinya konflik horizontal yang melibatkan berbagai lapisan dan elemen masyarakat, bukan hanya orang dewasa akan tetapi sudah menyentuh di level anak-anak dan remaja sehingga menyebabkan semakin buramnya potret toleransi di negri ini. Ironisnya, ada juga oknum penguasa atau penegak hukum yang turut serta memperkeruh suasana dengan cara mengambil keuntungan dari konflik yang tengah terjadi dengan berpihak kepada yang lebih banyak memberikan fulus dan keuntungan materi lainnya. Dan yang lebih aneh lagi, untuk sekedar merumuskan undang-undang tentang toleransi dan penanganan masalah konflik social ini, beramai-ramailah pejabat belajar dulu ke luar negeri. Padahal, di negeri ini toleransi telah menjadi sebuah budaya dan tradisi yang berkembang dari sejak nenek moyang kita jauh sebelum negeri ini berdiri mengingat negeri ini terdiri atas berbagai macam ras dan suku yang masing-masing memiliki keanekaraman budaya dan tradisi. Sebagai seorang muslim yang dihadapannya ada al-Qur’an dan as-Sunnah, kurang etis kiranya jika harus pergi jauh-jauh ke luar negeri bila hanya sekedar mencari bahan materi tentang toleransi dan pemecahan masalah konflik yang tengah marak terjadi. Bukankah Allah SWT dengan segala kemahakuasan-Nya telah menurunkan al-Qur’an sebagai pintu solusi? Ironisnya, sebagai seorang muslim kita sering dikotomi oleh budaya dan ajaran orang lain di luar Islam. Hegemoni barat sering kali menggiring opini kita kearah pemikiran yang bersifat liberal dan sekuler sehingga kita dengan bangga mengagung-agungkan budaya barat yang terkesan lebih manusiawi dan humanis, padahal bila kita cermati, itu semua hanya kamuflase yang dibuat-buat. Faktanya, sampai detik ini, kita sering mendengar berita tentang pelarangan pemakaian jilbab dan pembangunan menara masjid di berbagai Negara barat. Inikah yang disebut dengan toleransi? Berbicara masalah toleransi, berarti kita sedang berbicara tentang salah satu doktrin Islam yang menjadi sebuah ciri dan kharakteristiknya. Bila sejenak kita menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an mencari tentang toleransi, niscaya akan kita mendapati betapa al-Qur’an telah mengupasnya dengan sangat baik dan mudah dipahami. Kemudian apabila kita menyempatkan diri juga untuk membaca sirah nabawi, betapa beliau adalah seorang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya’ [21] : 107) dan faktanya telah tergambar dengan jelas bagaimana sikap Rasulullah SAW ketika memperlakukan penganut Yahudi dan Nasrani serta para kafir Dzimmi dengan penuh kasih sayang dan sangat manusiawi, tanpa memaksa sedikitpun mereka untuk memeluk agama Islam. Demikian halnya para sahabat dan para salafus shalih sesudahnya; sebagaimana Shalahuddin al-Ayyubi setelah menakhlukkan Baitul Maqdis di Palestina tidak dengan serta merta membinasakan penduduk penganut Nasrani dan Yahudi akan tetapi justru malah melindungi mereka dengan penuh kasih sayang. Makna Toleransi Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut sebagai as-samahah adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, organisasi masyarakat (ormas), lembaga social masyarakat (LSM), Yayasan, lembaga, forum, majelis, dan berbagai macam organisasi masyarakat lain yang bersifat massive atau yang berbasis massa. Islam dan Toleransi Toleransi dalam Islam adalah otentik dan telah menjadi jati diri. Al-Qur’an telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah bukan sikap Islam. Sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia sampai hari ini dan insya Allah sampai pada masa yang akan datang. Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Masalah toleransi adalah merupakan masalah yang begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Yang dimaksud dengan toleransi disini adalah dalam tataran interaksi social (hubungan antar sesama). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tidak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi dimana masing-masing pihak diharapkan mampu mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinannya maupun hak-haknya. Sebagai bukti bahwa Islam telah mengenal toleransi, dapat kita temukan dalam al-Qur’an, surat Al-Kafirun yang merupakan surat Makkiyah, meskipun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa turun pada periode Madinah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa, surat Al-Kafirun adalah surat baraa’ (penolakan) terhadap seluruh amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan memerintahkan agar kita ikhlas dalam setiap amal ibadah kita kepada Allah, tanpa ada sedikitpun campuran, baik dalam niat, tujuan maupun bentuk dan tata caranya. Karena setiap bentuk percampuran disini adalah sebuah kesyirikan, yang tertolak secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni. Meskipun pada dasarnya, kita diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam berbagai bidang kehidupan umum, sebagai contoh ketika kita memiliki orang tua yang memaksa kita untuk menyekutukan Allah, maka sebagai sikap toleran kepada orang tua, kita diajarkan untuk tidak menuruti ajakan tersebut dengan cara yang sopan dan tetap mempergauli keduanya dengan baik (QS. Luqman [31]: 15) atau kita diajarkan untuk tetap berlaku baik dan berbuat adil kepada setiap anak Adam apapun agama dan keyakinannya selama mereka tidak memerangi akidah dan hal-hal yang berkenaan dengan keyakinan kita (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8) Lebih lanjut disebutkan bahwa sebab turunnya (asbabun nuzul) surat Al-Kafirun adalah bahwa, setelah melakukan berbagai upaya untuk menghalang-halangi dakwah Islam, orang-orang kafir Quraisy akhirnya mengajak Rasulullah SAW berkompromi dengan mengajukan tawaran bahwa mereka bersedia menyembah Tuhan-nya Rasulullah SAW selama satu tahun jika Rasulullah SAW juga bersedia ikut menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun. Maka Allah sendiri yang langsung menjawab tawaran mereka itu dengan menurunkan surat ini (HR. Ath-Thabrani, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas ra). Secara umum, surat al-Kafirun memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Adapun sikap toleransi begitu kental terasa dalam akhir ayat yang mungkin telah juga familiar di telinga kita ”Lakum diinukum waliya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) yang mengandung pengertian sebagai berikut : 1. Secara umum Islam memberikan pengakuan terhadap realita keberadaan agama-agama lain dan penganut-penganutnya;  2. Islam membenarkan kaum muslimin untuk berinteraksi dengan ummat-ummat non muslim itu dalam bidang-bidang kehidupan umum; 3. Islam memberikan ketegasan sikap ideologis berupa baraa’ atau penolakan total terhadap setiap bentuk kesyirikan akidah, ritual ibadah ataupun hukum, yang terdapat di dalam agama-agama lain; 4. Islam tidak membenarkan percampuran dengan agama-agama lain dalam bidang-bidang akidah, ritual ibadah dan hukum; 5. Kaum muslimin dilarang keras ikut-ikutan penganut agama lain dalam keyakinan akidah, ritual ibadah dan ketentuan hukum agama mereka; 6. Ummat Islam tidak dibenarkan melibatkan diri dan bekerja sama dengan penganut agama lain dalam bidang-bidang yang khusus terkait dengan keyakinan akidah, ritual ibadah dan hukum agama mereka. Demikianlah, toleransi telah menjadi salah satu doktrin Islam yang telah menjadi ciri khas dan kharakteristiknya sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak mengajarkan segala bentuk terror dan intimidasi kepada sesama muslim bahkan kepada orang-orang non muslim sekalipun selama mereka tidak memerangi, memusuhi atau mencampuri akidah kita. Hal ini telah menjadi sebuah tradisi yang berakar semenjak kemunculan Islam di muka bumi. Maka, tidak elok kiranya kita melupakan doktrin dan pengajaran yang baik ini atau bahkan justru berpaling kepada budaya barat yang belum tervalidasi oleh zaman. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa komitmen untuk menjiwai sikap toleransi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berbangsa dan bernegara sehingga seluruh elemen masyarakat merasa aman dan terlindungi di bawah naungan Islam yang mulia ini. Wallahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar