Sabtu, 28 Januari 2012

Menandai Muharram

Buletin An-Nawa No. 1 Tanggal 10 Muharram 1432 H   Menandai Muharram   Bulan Muharram adalah bulan penuh sejarah, bulan dimana Rasulullah SAW mengawali langkah ekspansi dakwah, meninggalkan kampung halaman menuju kota Madinah Al-Munawwarah. Hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW adalah dalang rangka melakukan perbaikan manusia secara menyeluruh “min adh-dhulamâti ila an-nûr” (dari kegelapan menuju zaman yang terang benderang), memperbaiki akhlak, meluruskan Aqidah dan memahamkan umat bahwa kehidupan di dunia adalah sebagai mukadimah dari kehidupan akhirat. Peristiwa hijrah ini telah disepakati oleh umat Muhammad menjadi tonggak perhitungan waktu, yang jatuh pada bulan Muharram yang merupakan salah satu dari 4 bulan mulia sebagaimana difirmankan oleh Allah : ¨bÎ) no£‰Ïã Í‘qåk’¶9$# y‰ZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky ’Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ö‘r& ×Pããm 4 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...” (QS. At-Taubah [9]: 36) Berdasarkan keterangan firman Allah maka sebagai umat muslim kita sepantasnya untuk memperbanyak amal kebaikan dan memberantas semua perilaku menyimpang yang salah satunya merasa hidup tanpa kehadiran Tuhan atau menganggap bahwa Allah tidak memperhatikan setiap gerak-gerik hamba-Nya sehingga dengan mudahnya melegalkan praktek korupsi, kolusi, manipulasi dan monopoli. Demikianlah, apabila perilaku menyimpang ini terus membudaya tidak mustahil akan melahirkan raja-raja kecil yang gila hormat yang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kedudukannya sehingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan nasib rakyat dan masyarakatnya yang telah termakan oleh janji-janji manisnya. Maka dari itu, momen bulan Muharram ini bukan hanya diartikan sebagai berpindah tempat atau dimaknai dengan perayaan atau ritual semata akan tetapi harus dimaknai sebagai berpindahnya perilaku yang buruk menuju perilaku yang sesuai dengan kaidah Islam yang benar, yakni perilaku yang lebih humanism, menyadari bahwa apapun yang melekat dalam diri kita adalah amanat yang akan kita pertanggungjawabkan dan bersyukur atas semua pencapaian yang telah kita raih dengan cara berbagi kepada orang-orang yang kurang beruntung di tengah mesyarakat kita. Puasa di hari ‘Âsyûra Dalam bulan Muharram kita sering mendengar istilah ‘Âsyûra yang berarti hari kesepuluh di bulan Muharram. Dalam hal ini, Rasulullah SAW telah memerintahkan para pengikutnya untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Âsyûra dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Âsyûra merupakan hari dimana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, Bani Israil dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dan sudah menjadi kebiasaan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat tersebut. Maka, setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, ketika beliau menyaksikan bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Âsyûra. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Kemudian orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. (HR Bukhari) Rasulullah SAW berkata demikian sebab beliau dan para pengikutnya adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Hal ini bersandarkan kepada firman Allah : إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ “Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran [3]: 68) Demikianlah puasa di hari ‘Âsyûra telah menjadi sebuah sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dilaksanakan oleh para pengikutnya. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abi Qatadah bahwa ketika beliau SAW ditanya tentang hari ‘Âsyûra : عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُوْرَا فقال: يَكْفُرُ السُنَّةَ المَاضِيَةَ Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari ‘Âsyûra. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW telah berpuasa dihari ‘Âsyûra : عَنْ ابْنِ عَبَاس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ  قالأن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صَامَ يَوْمَ عَاشُوْرَا وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ Dari Ibnu Abbas ra, "bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Âsyûra dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi). Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda : لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلِ لأَصُو مِنَ التَّاسِعِ “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan”. (HR. Muslim)  Demianlah Rasulullah SAW berpuasa ‘Âsyûra dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Âsyûra, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh, atau ketiga-tiganya. Amal sosial bagi anak yatim Rasulullah SAW adalah seorang rasul yang terlahir sebagai yatim. Beliau telah mengalami pahit getirnya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Berjuang mempertahankan hidup di tengah-tengah kerasnya kehidupan. Maka dari itu, Allah menguatkan diri beliau agar senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah beliau terima. Salah satu dari bentuk kesyukuran beliau adalah dengan cara mengasihi anak-anak yatim dan menjanjikan tempat yang dekat di surga bagi orang-orang yang mengasuh anak-anak yatim seperti dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah, sebagaimana sabda beliau :   أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِسَبَابَتِهِ وَالوُسْطَى Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini. (HR. Bukhari) Momentum ‘Âsyûra adalah kesempatan yang sangat berharga bagi umat muslim untuk saling berbagi kepada kaum dhu’afa dan anak-anak yatim yang kekurangan. Minimal hari ini sebagai pemicu amal kebaikan di waktu-waktu mendatang. Sehingga jangan sampai kita melewatkan kesempatan yang berharga ini tanpa sebuah amal kebaikan yang nyata sebagai tanda bukti syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Hikmah Muharram Hidup adalah sebuah perjalanan singkat yang harus dilalui. Suka maupun duka adalah bumbu kehidupan yang akan selalu menyertai, kapan pun dan dimanapun. Tidak ada kehidupan yang berlalu tanpa ada masalah yang bergelayut. Marilah kita bertanya, apakah diri kita telah mampu menepis setiap problematika sehingga keluar sebagai pemenangnya atau justru malah terjerembab ke dalamnya sehingga tiada lagi mampu bangkit daripadanya. Masih ada waktu yang tersisa. Masih ada harapan-harapan lain yang belum kita kerjakan. Bila tahun lalu telah gagal, tidak salahnya kita kembali mencoba. Bila tahun kemarin telah hancur binasa tidak ada salahnya jika tahun ini, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah baru. Momentum Muharram inilah waktu untuk merefleksi diri, dan membangun prestasi. Adapun langkah-langkah yang dapat kita lakukan adalah sebagai berikut :   1- Memperhatikan diri pribadi agar selalu menjadi pribadi yang berkualitas “shalih” dalam pikirannya, pemahamannya, keyakinannya, ibadahnya dan akhlaknya. Mengaplikasikan makna hijrah bukan sebatas ritual atau perayaan semata akan tetapi lebih kepada perubahan cara berfikir yang positif, sikap dinamis dan perilaku innovative yang bersandarkan kepada tata cara ibadah yang benar berdasarkan tuntunan Allah dan rasul-Nya. 2. Selalu memperhatikan waktu, umur dan kesempatan. Semua perbuatan tidak dapat dipisahkan dari unsur waktu. Semua ibadah kita, baik yang mahdhah (wajib) ataupun yang sunnah dan lainnya harus menggiring waktu kepada terciptanya produktivitas amal dan pahala. 3. Senantiasa menyadari bahwa manusia sebagai makhluk “kolektif” Setiap kebersamaan harus dapat memberikan sumbangsih “nâfiun lighairihi” sebagai bukti bahwa diri sebaik-baiknya diri diantara makhluk Allah yang lain. Kolektivitas berarti bersatu untuk maju, bahu-membahu membangun peradaban Islam yang sistematis dan terpadu serta berupaya sekuat tenaga mengangkat derajat umat Muslim menjadi umat yang terdepan dalam kuantitas, kualitas dan mutu. Tidak menjadi pribadi yang “gedé ambeg”, “gampang mutung, dan mudah “futhur” atas semua keputusan koligial yang telah disepakati. 4. Amal sosial pada bulan Muharram adalah menyantuni anak yatim. Muharram hanyalah sebuah pemicu, dalam rangka meledakkan kebaikan dan amal sosial kepada sesama; menyantuni anak yatim, memberi makan orang-orang miskin, menyantuni kaum jompo yang tersia-siakan, dan mengembalikan arah yang telah terlanjur salah langkah. Untuk kemudian ditindak lanjuti dalam kehidupan mendatang. Bumi Allah luas, dimanapun dan kapanpun kita bisa menciptakan produktivitas yang akan membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebagai mukmin, kita harus bersungguh-sungguh mencari kerindhaan Allah, untuk mendapatkan kedudukan yang dekat kepada-Nya dan memperoleh kemuliaan disisi-Nya. Amin Yaa Rabbal alamin.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar